Jumat, 15 Januari 2010

Tanda Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual biasanya menjadi rahasia keluarga yang disimpan rapat. Ada sejumlah situasi yang perlu diperhatikan para orangtua, agar anak terhindar dari kekerasan seksual, di dalammaupun di luar rumahtangga.

Menurut pengamatan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia maupun hasil riset di Barat, pelaku percabulan biasanya adalah orang-orang yang dekat dan dipercaya oleh anak-anak. Data akurat sulit didapat, karena umumnya korban maupun orangtuanya tidak melapor kepada lembaga berwenang.

Ada tipe dan pola yang jelas menyangkut kekerasan seksual terhadap anak-anak ini, baik yang terjadi di dalam maupun di luar keluarga. Dalam buku Human Sexuality terbitan Times Mirror dijelaskan sebagai berikut:

1. Ada perjanjian. Pelaku menjanjikan sesuatu kepada korban. Dalam kasus di Bali itu, anak-anak dijanjikan uang. Sedangkan dalam kasus guru agama, anak-anak ada yang dijanjikan piknik ada pula yang mendapat pelajaran tambahan di rumah.

2. Fase rahasia. “Jangan bilang siapa-siapa!” begitu yang mereka tandaskan kepada anak-anak. Biasanya juga disertai ancaman, sehingga anak-anak takut dan merasa bersalah jika melanggarnya.

3. Tahap penyingkapan. Biasanya terjadi secara tak disengaja, misalnya anak sudah lelah dicabuli lalu berontak, ketahuan anak lain, menderita sakit, atau hamil.
Dengan pola semacam ini, tak heran kalau kekerasan seksual terhadap anak-anak umumnya baru terungkap setelah terjadi berulang-ulang, bahkan bisa bertahun-tahun.

Maka, tanamkan pada anak-anak supaya tidak mudah menerima iming-iming dari orang lain. Kedekatan dan keterbukaan antara anak-orangtua sangat membantu memperkuat ketahanan mental anak.

Efek Jangka Panjang
Bagi para korban kekerasan seksual, apalagi anak-anak, pencabulan itu mendatangkan efek berjangka panjang.

Berbagai studi memperlihatkan, hingga dewasa, anak-anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki self-esteem (rasa harga diri) rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian, sulit menjaga membangun hubungan dengan orang lain, dan tidak memiliki minat terhadap seks.

Studi-studi lain bahkan menunjukkan bahwa anak-anak tersebut akhirnya ketika dewasa juga terjerumus ke dalam penggunaan alkohol dan obat terlarang, pelacuran, dan memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan

sumber: kompas kamis 14 januari 2010